Konstruksi Ramping (Lean Construction)

Jumat, 12 Maret 2021
    Konstruksi ramping atau lebih dikenal dengan Lean Construction merupakan suatu upaya manajemen dalam industri konstruksi guna meningkatkan optimalisasi nilai, efisiensi serta upaya dalam mereduksi waste (Physical maupun Non Physical Waste) dalam aktifitas konstruksi. Konstruksi Ramping pada dasarnya bertujuan untuk menghindari hal-hal yang selama ini dianggap menimbulkan inefisiensi/pemborosan dan tidak memberikan nilai tambah dalam aktifitas konstruksi selama ini. Berdasarkan Wikipedia, Konstruksi ramping adalah kombinasi penelitian operasional dan pengembangan praktis dalam desain dan konstruksi dengan adaptasi prinsip dan praktik lean manufacturing dengan desain dan proses konstruksi. Tidak seperti manufaktur, konstruksi adalah proses produksi berbasis proyek. Konstruksi Ramping berkaitan dengan penyelarasan dan upaya holistik perbaikan bersamaan dan berkelanjutan di semua dimensi lingkungan: desain, konstruksi, aktivasi, pemeliharaan, penyelamatan, dan daur ulang (Abdelhamid 2007, Abdelhamid et al. 2008).
     Konstruksi Ramping atau Lean Construction adalah sebuah pendekatan yang diperkenalkan oleh Lauri J.Koskela, dari VTT Building and Transport di Finlandia, pada tahun 1992, dalam upayanya mencoba memperbaiki kinerja industri konstruksi dengan mengacu kepada kinerja yang dapat dicapai oleh industri manufaktur denganpendekatan Lean Production-nya. Secara konseptual, kemudian Koskela mengembangkan filosofi dari Konstruksi Ramping ini dan dikembangkan lebih lanjut oleh masyarakat peneliti dan praktisi konstruksi yang tergabung dalam International Group for Lean Construction (IGLC) pada tahun 2013. Koskela dan kawan-kawan menitik beratkan awalnya pada proses produksi di lapangan, dengan adanya antara lain the Last Planner System (LPS), dan sampai saat ini sudah merambah kepada penyelenggaraan konstruksi secara holistik dengan Integrated Project Delivery-nya (IPD). Tujuan dari pendekatan Konstruksi Ramping ini adalah memaksimalkan nilai (value) yang ingin dicapai, namun dengan proses yang menghasilkan pemborosan (waste) yang minimal. Lean Construction atau manajemen konstruksi ramping bukan berarti manajemen konstruksi dengan melakukan cost cutting disana-sini, bukan pula metode improvement yang rumit dan memusingkan. Pengertian lean adalah menghilangkan aktivitas yang tidak ada nilai tambahnya, pemborosan (waste) maupun kerugian (losses) dengan tujuan menghasilkan nilai tambah (value added) dalam suatu proyek. 
 
    Saat ini sektor konstruksi mulai melakukan upaya untuk mengurangi waste sekaligus meningkatkan value dengan mengadopsi teori produksi pada industri manufaktur kepada industri konstruksi yang disebut lean construction (konstruksi ramping). Sistem pengendalian produksi (production control) dengan konsep konstruksi ramping merupakan salah satu sistem dalam perencanaan dan pengendalian jadwal pekerjaan. Komponen yang terdapat konsep konstruksi ramping tersebut adalah System the Last Planner (LPS). Last Planner System merupakan bagian dari komponen lean construction dimana dalam perencanaannya semua pihak dapat terlibat secara langsung dan terkoordinasi sehingga pekerjaan yang direncanakan dapat terkontrol dengan baik dalam pelaksanaannya. Setelah melakukan analisis progress kerja harian, LPS mempunyai indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur sejauh mana aliran pekerjaan dapat tercapai dengan baik, adapun kontrol aliran kerja Last Planner System yaitu Master Plan, Phase Planning dan Pull Planning, Lookahead Planning, Constraints Analysis, Shielding Production, Weekly Work Plan dan Percent Plan Complete (PPC) sebagai standar untuk mengontrol unit-unit produksi, menentukan jadwal proyek, strategi pelaksanaan, dan lain-lain.
 
   Berdasarkan penelitian beberapa ahli bidang konstruksi di Amerika, ternyata dalam setiap proyek konstruksi yang kita lakukan hanya ada 40% aktivitas yang benar-benar ada nilai tambahnya (value-added), sedangkan 60% lainnya tidak ada nilai tambahnya (non-value added). Dalam hal ini menjadi sebuah tantangan dalam proses penerapan Lean Construction di Indonesia. Aktivitas yang memiliki value added adalah aktivitas yang “ada nilai tambahnya sesuai spek dan gambar yang diminta dan customer rela dan mau membayar untuk itu”. 
 
    Sedangkan non-value added adalah sebaliknya. Misal kita membuat bangunan ternyata salah dan harus dibongkar karena spesifikasi yang kita buat atau kualitasnya tidak sesuai spesifikasi customer. Apakah customer rela dan mau membayar biaya bongkar dan biaya bangun kembali termasuk material-material penggantinya? Tentu saja tidak, kecuali atas permintaan atau persetujuan mereka, inilah yang dimaksud non-value added. Demikian juga jika waktu molor karena planning yang tidak baik, atau ketika material sudah datang tapi pekerja tidak ada atau sebaliknya. Tentu kita pun sebagai main contractor atau subcontractor tidak ingin pemborosan dan kerugian ini dilakukan oleh tim kita. Industri konstruksi bertanggung jawab atas pencapaian pencapaian yang luar biasa, tetapi sayangnya, industri juga dapat menyebabkan ketidakefisienan dan pemborosan. Studi menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen waktu yang dihabiskan untuk konstruksi di Amerika Serikat dihabiskan untuk kegiatan yang tidak produktif; apa pun yang dapat dihilangkan tanpa mengurangi nilai pekerjaan bagi pelanggan. 
 
Tujuh Pemborosan lean awalnya dibuat di Jepang dengan mempertimbangkan inefisiensi manufaktur, tetapi juga berlaku untuk konstruksi. Ada 8 jenis waste yang biasanya terjadi pada proses konstruksi antara lain:  
 
1. Transportasi Limbah transportasi melibatkan pergerakan material atau peralatan yang tidak perlu. Hal ini dapat melibatkan perpindahan dari satu lokasi kerja ke lokasi kerja lainnya, atau dari halaman ke area peletakan material dan kemudian lagi ke area kerja yang sebenarnya. Meskipun jenis limbah ini tidak dapat dihilangkan seluruhnya, limbah transportasi dapat diminimalkan melalui komunikasi, koordinasi, dan pengelolaan tugas sehari-hari yang lebih baik. Menjaga semua orang dari kantor ke lapangan akan mengurangi jumlah perjalanan yang tidak perlu, dan mengurangi pemborosan. Limbah pengangkutan sangat kontraproduktif, karena tidak hanya menambah waktu untuk keseluruhan proses konstruksi tetapi juga menyebabkan kerusakan material.  
 
2. Persediaan Dalam konstruksi, pemborosan inventaris terjadi ketika produksi berlebih menghasilkan bahan berlebih. Ini termasuk bahan yang disimpan di tempat atau di halaman fabrikasi, pekerjaan yang sedang berlangsung, dan alat atau suku cadang yang tidak digunakan. Sementara memiliki beberapa persediaan di tangan diperlukan untuk menjaga proyek tetap berjalan, bahan-bahan ini harus diminimalkan semaksimal mungkin karena hal ini cenderung membutuhkan sedikit penanganan (usaha) dan ruang penyimpanan. Optimalkan inventaris Anda untuk mengurangi jenis pemborosan ini.
 
 3. Gerakan Pemborosan gerakan adalah perlu diketahui bahwa industri konstruksi merupakan jenis industri yang sebagian besar membutuhkan sumber daya tenaga kerja yang dominan dalam menyelesaikan pekerjaan konstruksi. Ini termasuk waktu, gerak dan tenaga yang dihabiskan selama proses konstruksi yang dianggap tidak perlu, misalnya tenaga kerja berjalan kaki ekstra karena area kerja yang dirancang dengan buruk. 
 
 4. Menunggu Mungkin, secara naluriah pemborosan ini terjadi ketika kru dibiarkan menunggu pengiriman material atau peralatan, atau penyelesaian aktivitas sebelumnya. Ini juga berlaku untuk siapa pun di proyek yang menunggu informasi, seperti personel lapangan menunggu rencana, penjadwal menunggu pembaruan kemajuan, atau gaji menunggu lembar waktu. Memiliki akses real-time ke informasi ini di lapangan - dari perangkat atau lokasi mana pun - akan membantu kru mengurangi jenis limbah ini.
 
 5.Produksi Berlebih Produksi berlebih adalah proses pembuatan bahan terlalu cepat atau memesan bahan tambahan karena kualitasnya yang buruk, daripada memproduksi dan mengirimkan bahan dalam jumlah yang tepat pada saat dibutuhkan. Ini berarti ada tumpang tindih antara produksi berlebih, limbah inventaris. Saat terjadi produksi berlebih dan pemborosan inventaris, Anda harus menyimpannya di tempat yang sering kali penuh. 
 
 6. Pemrosesan Berlebih, seperti mengubah atau menangani item material dan pekerjaan yang lebih. Ini juga terkait dengan koordinasi dan alur kerja administratif pada proyek konstruksi yang mengarah pada data ganda, seperti banyak tanda tangan pada formulir, laporan harian yang berlebihan. 
 
 7. Rework/Defect, Cacat adalah pekerjaan yang tidak benar yang perlu diperbaiki, diganti, atau diulangi. Dalam konstruksi ramping, ini termasuk bahan yang rusak, pengerjaan ulang. Misalnya, bahan lantai yang tidak dipasang sesuai spesifikasi atau dinding jadi yang dirusak oleh kontraktor listrik akan termasuk dalam kategori Cacat. Memiliki catatan sejarah dari semua masalah dari suatu item pkerjaan akan membantu Anda meminimalkan kerusakan.
 
 8.Keterampilan dan Bakat yang Kurang merupakan kegagalan dalam memanfaatkan keterampilan, kreativitas, atau pengetahuan SDM dalam sebuah proyek, yang dianggap sebagai bentuk pemborosan dalam alokasi SDM dalam proyek konstruksi. Sekarang ini secara umum diterima sebagai pemborosan tambahan dari lean Construction.

Lean BIM (Building Information Modelling) Construction

Lean BIM Construction di dunia konstruksi pada era sekarang, makin banyak istilah yang harus kita mengerti, terlebih dalam dunia BIM, baik dari segi workflow (alur kerja) dan goal dari projek itu sendiri. Banyak sekali metode kerja yang harus diadaptasi seiring dengan perkembangan teknologi tools yang ada.

 Lean BIM Construction Yup! Istilah ini cukup menggelitik kami untuk mendalaminya lebih jauh. Kami mencoba mulai dengan kenapa istilah ini bisa muncul di era sekarang ini. Istilah “Lean BIM Construction” sangat berkaitan erat dengan munculnya istilah pertama kali yaitu “Lean Construction”. Apa itu Lean Construction ?

 Lean Construction atau Konstruksi Ramping pada dasarnya merupakan sebuah metode kerja yang fokus terhadap proses dari metode itu sendiri, yang diadopsi dari paradigma lean thinking dimana kita harus memaksimalkan value dan dengan waste yang minimal dalam suatu proses konstruksi.

 Lalu apakah itu Value dan Waste dalam Lean Construction

• Value merupakan nilai yang terkandung dalam suatu produk tertentu, dengan indikator-indikator yang ditetapkan oleh konsumen, klien, owner, dll.

• Waste adalah setiap kegiatan yang menggunakan sumber daya, namun tidak mendatangkan penambahan value (nilai yang terkandung) dalam produk yang dikerjakan. 

Lalu apakah “Lean BIM Construction”? secara prinsip istilah ini mengikuti garis besar arti dari istilah Lean Construction itu sendiri, penambahan BIM mempertegas bahwa konsep BIM sangat membawa usaha penting dalam proses “merampingkan” dalam sebuah konstruksi baik skala besar maupun kecil sekalipun. Prinsip BIM apabila tidak dilakukan dengan baik pun tidak luput dari proses yang terkadang tidak disadari menjadi buang-buang waktu dan pada akhirnya boros. Prinsip memegang teguh memaksimalkan penambahan nilai dan fokus kepada usaha dalam meminimalisasikan pemborosan dalam proses serta menjaga semua nilai yang sudah dipertahankan tadi menjadi suatu goal yang utuh merupakan hal utama yang harus disepakati dari awal sekali. 

Apakah peran BIM dibutuhkan? jawabannya sangat dibutuhkan!, bahkan semenjak awal proyek sekalipun. BIM dapat dimulai dari Proses BEP (BIM Execution Plan) poses ini benar-benar dapat mengurangi “6 Prinsip Pemborosan BIM”, apa saja kategorinya? 

1. Scope Waste / Delegasi tugas tidak jelas 

2. Model Waste / Over Modeling 

3. Poor Design / design yang buruk

4. Waiting / Alur Workflow yang lama 

5. Rework / Pekerjaan Revisi berulang-ulang akibat kurang koordinasi

6. BIM Admin / Beban BIM manager menjadi berat

 

By: Dr. Ir. James Thoengsal, M.T., IPM.

Sumber:

https://en.wikipedia.org/wiki/Lean_construction

https://leanconstructionindonesia.com

https://archilantis.com/

https://www.fieldwire.com/blog/eight-wastes-of-lean-construction/ 

https://rama.ristekbrin.go.id/document/detail/oai:repository.unsri.ac.id:2616-24

 

 


 

1 komentar: