Self Healing Concrete

Teknologi Pemulihan Sendiri Kerusakan Beton
Kamis, 01 Januari 2015


  Secara umum kita bisa melihat bahwa perkembangan atau pertumbuhan industri konstruksi di Indonesia cukup pesat walaupun ada masalah krisis ekonomi. Hampir 60 % material yang digunakan dalam pekerjaan konstruksi adalah beton (concrete), yang dipadukan dengan baja (Composite) atau jenis lainnya. Beton konvensional untuk struktur statis dan dinamis memiliki umur layanan yang terbatas. Salah satu penentu umur layan beton adalah timbulnya keretakan akibat beban statis dan dinamis. Beton akan mengalami retak statis dan dinamis bila daya lentur dari beton terlewati. Akibat dari kegagalan kontruksi beton adalah timbulnya kerugian tekno ekonomi dan juga membahayakan jiwa. Sehingga diperlukan suatu beton yang dapat mengakomodir perubahan bentuk tersebut akibat beban statis dan dinamis.

Gambar Loading Test pada Slab Tipis Pada Beton SHC
 
  Prof. Victor li dan timnya dari University of Michigan, pertama kali menemukan self healing concrete tahun 2009 ini yaitu beton yang dapat melengkung ketika diberi beban karena daya lenturnya lebih tinggi dibanding beton biasa sehingga dapat mengatasi masalah keretakan dan deformasi. Hal ini dapat dianalogikan dengan tangan yang terkena goresan kecil/luka, kulit kita dapat menyembuhkan dengan sendirinya, tetapi jika timbul luka yang lebih lebar maka luka tersebut harus dijahit. 
Yang dimaksud dengan Self  Healing Concrete disini yaitu kemampuan beton dalam memperbaiki dirinya sendiri, dengan bantuan hujan dan karbondioksida di udara, retakan tersebut akan menyatu kembali sehingga akan mengurangi risiko kerusakan yang lebih parah, terutama yang sering terjadi pada saat setelah gempa bumi.

Yang dimaksud "Self Healing" disini adalah kemampuan beton ini memperbaiki diri sendiri apabila terjadi retakan kecil.
Dengan bantuan hujan dan karbondioksida di udara, retakan tersebut akan menyatu kembali sehingga akan mengurangi resiko kerusakan yang lebih parah, terutama yang sering terjadi pada saat setelah gempa bumi (earthquake).
Sayangnya, dengan bahan khusus untuk pembuatan beton ini, harganya 3 kali lebih mahal dari beton yang ada saat ini tetapi tetap saja, ini suatu penemuan yang sangat baik untuk digunakan di masa depan.
- See more at: http://www.otakku.com/2009/05/07/konkrit-concrete-yang-sangat-lentur-dan-bisa-memperbaiki-diri-sendiri-apabila-terjadi-retakan/#sthash.Q5sVTJYd.dpuf
Yang dimaksud "Self Healing" disini adalah kemampuan beton ini memperbaiki diri sendiri apabila terjadi retakan kecil.
Dengan bantuan hujan dan karbondioksida di udara, retakan tersebut akan menyatu kembali sehingga akan mengurangi resiko kerusakan yang lebih parah, terutama yang sering terjadi pada saat setelah gempa bumi (earthquake).
Sayangnya, dengan bahan khusus untuk pembuatan beton ini, harganya 3 kali lebih mahal dari beton yang ada saat ini tetapi tetap saja, ini suatu penemuan yang sangat baik untuk digunakan di masa depan.
- See more at: http://www.otakku.com/2009/05/07/konkrit-concrete-yang-sangat-lentur-dan-bisa-memperbaiki-diri-sendiri-apabila-terjadi-retakan/#sthash.Q5sVTJYd.dpuf

    Material penentu dari pembuatan self healing concrete ini adalah ECC (Engineered Cement Composite) yang bendable. ECC merupakan salah satu tipe bahan komposit semen dengan perkuatan serat yang unik dan memiliki performa tinggi (Yang, 2009). ECC ini ditaburi oleh coated reinforcing fiber khusus yang dicampur merata atau dengan epoksi/healing agent berbahan dasar semen diinjeksi melalui sistem vesikular yang telah dipasang sebelumnya dan mengisi celah akibat rekahan sehingga menambah kekuatan beton.


Uji SEM (Scanning Electron Microscope) Proses Penyembuhan Keretakan Matrix Beton 

    Selama 15 tahun Prof. Victor Li, bersama koleganya-seperti pemimpin studi dan mahasiswa pendatang-Yingzi Yang, telah mengembangkan beton generasi terbaru untuk berbagai aplikasi. Beton yang serupa telah digunakan dalam proyek gedung residensial tertinggi di Osaka, Japan. Sebuah struktur gedung yang terdiri dari 60 lantai, tambah Li. Material ini juga pernah digunakan pada proyek jembatan yang melalui Interstate 94 di Michigan pada tahun 2006, dimana pada saat pemasangannya tidak diperlukan sambungan konvensional. Sambungan inilah yang memungkinkan beton untuk memuai dan menyusut tanpa menekuk. Tetapi, sambungan ini akan menghasilkan suara apabila ada kendaraan yang lewat diatasnya.
 
   “Satu hal yang menarik, selain mengurangi biaya pemeliharaan, campuran beton baru ini sangat tenang” karena dalam pemasangannya tidak diperlukan sambungan (yang menimbulkan suara) , ujar Li. Kini, beton yang dapat ‘memperbaiki’ sendiri ini sedang dipertimbangkan untuk digunakan dalam proyek saluran irigasi di Montana.


   ECC telah dikembangkan selama 15 tahun oleh Prof. Victor Li dan timnya. Para insinyur ini menemukan bahwa keretakan yang terjadi harus dijaga dibawah 150 µm dan jika ingin beton dapat direcovery seluruhnya harus dibawah 50 µm. Berbeda dengan beton konvensional, ECC lebih mendekati sifat-sifat logam dibanding gelas yang artinya lebih fleksibel. Beton konvensional cenderung seperti keramik yang rapuh dan kaku. ECC ini dapat menanggulangi kerusakan akibat bencana ketika terjadi regangan dalam gempa bumi atau akibat penggunaan rutin yang berlebihan. Ketika diberi tekanan, ECC cenderung melengkung dan tidak patah. ECC tetap utuh dan aman hingga tensile strain 5 %. Beton konvensional akan mengalami keretakan dan tidak dapat mengangkat muatan lagi pada tensile strain 0,01 %. (Li, 2009). Rata-rata lebarnya keretakan pada self healing concrete milik Li ini adalah di bawah 60 µm, setara dengan setengah dari lebar rambut.Menurut Li, resep utamanya adalah mengekspos extra dry cement dalam beton pada permukaaan keretakan sehingga dapat bereaksi dengan air dan karbon dioksida untuk memulihkan dan membentuk lapisan tipis putih kalsium karbonat pada bekas retakan. Kalsium karbonat ini merupakan senyawa kuat yang dapat ditemukan secara alami di kulit kerang. Dalam laboratorium, material membutuhkan antara satu sampai lima siklus proses wetting dan drying untuk pemulihan. Sayangnya dengan bahan khusus dalam pembuatan beton ini, harganya 3 kali lipat lebih mahal dari beton konvensional, tetapi hal ini merupakan suatu penemuan konstruksi yang sangat bagus digunakan di masa yang akan datang. 

Research

Smart Concrete
 Michelle Pelletier, seorang mahasiswi kandidat master dari University of Rhode Island mencoba memberikan solusi permasalahan ini dengan "Smart Concrete" hasil penelitiannya. Bahan beton hasil penelitiannya ini akan melakukan 'penyembuhan' diri terhadap keretakan yang terjadi selama bangunan berdiri sehingga memperpanjang usia bahan bangunan berikut bangunannya apabila dilihat secara ekonomis. 

Percobaan untuk melakukan tekanan terhadap sample smart concrete
 
   Metode yang
Michelle lakukan sebagai pemecahan masalah adalah memasukkan kapsul-kapsul mikro berisi "agen pemulihan" yang terbentuk dari sodium silikat ke dalam beton. Jadi ketika terjadi keretakan maka kapsul-kapsul mikro pada daerah yang mengalami keretakan tersebut akan ikut pecah dan melepaskan "agen pemulih" yang akan bereaksi terhadap kalsium hidroksida pada beton sehingga akan 'memulihkan' retakan dan menutup pori-pori pada beton dan sekitar satu minggu kemudian hasilnya sudah bisa kering. Metode self-healing ini mengembalikan sekitar 26 persen kekuatan asli beton (apabila mengalami tekanan sampai hampir patah) dan lebih banyak daripada hanya menambalnya dengan menggunakan campuran biasa yang hanya 10 persen kekuatan asli beton.

  Penelitian ini membawa angin segar bagi usaha yang tidak ada habisnya untuk melakukan pemeliharaan lingkungan. Bagaimana tidak? Apabila metode ini bisa diterapkan secara umum maka usia beton pun menjadi lebih lama dan menekan usaha perbaikan maupun pemeliharaan. Dengan demikian kita akan tahu arahnya kemana. Produksi beton intensif yang bertanggung jawab terhadap emisi CO2 yang banyak terhadap lingkungan (di US saja sampai 10% total emisi CO2) maupun semua carbon footprint lain yang berkaitan dengan usaha pemeliharaan dan perbaikan tentu dapat ditekan. Dan tentu saja secara ekonomis penelitian ini memberi nilai positif. 


 Self Healing Pavement

    Professor Erik Schlangen, seorang peneliti dari Universitas Teknologi Delft, yang telah menjadi pionir dengan membuat aspal jalan yang bisa memperbaiki dirinya sendiri. Metode “Self-Healing” merupakan metode yang yang digunakan untuk bahan berbasis semen yang memperbaiki diri setelah materi atau strukturnya mengalami kerusakan.
 
   Aspal yang dikembangkan oleh Prof. Erik di Microlab, Materials and Environment Section, Faculty of Civil Engineering and Geoscience, Delft University memiliki kemampuan untuk melakukan perbaikan secara manual pada bagian yang mengalami keretakan yang disebabkan oleh pembebanan. Porous network concrere merupakan salah satu metode “self-healing” pada material yang kemudian dikenal dengan nama self-healing concrete. Aspal yang dibuat oleh Erik ini meniru proses penyembuhan tulang ketika mengalami retak atau patah. Seperti yang telah kita ketahui bahwa tulang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan secara alami, hal tersebut dikarenakan struktur tulang memiliki dua bagian, bagian luar yang sifatnya keras dan bagian dalam yang lunak berbentuk seperti spons. Di bagian dalam inilah tersusun jaringan yang memiliki kemampuan untuk penyembuhan. Saat tulang retak atau patah, darah akan membeku sebagai reaksi awal terbentuknya jaringan tulang lunak baru yang menyambung bagian yang patah kemudian akan terbentuk tulang baru.

Uji SEM (Scanning Electron Microscope) Perubahan Matrix Beton Ketika Terjadi Retak

    Pada aspal yang memiliki banyak pori-pori akan membesar jika terjadi oksidasi, apabila pori-pori tersebut kemasukan kerikil, maka akan meretak, membesar dan kemudian akan berlubang. Dalam penelitiannya, Erik melakukan pendekatan perbaikan induksi yaitu dengan mengaktifkan proses perbaikan aspal melalui pemanasan induksi yang dikembangkan untuk meningkatkan daya tahan aspal tersebut. Meniru prinsip penyembuhan tulang, maka Erik menambahkan bahan khusus, yaitu serat baja. Ketika terjadi keretakan maka serat baja tersebut akan cepat meleleh melalui pemanasan induksi dan langsung menutupi pori-pori pada saat terjadi induksi panas di sekitarnya. Serat baja ditambahkan ke campuran aspal untuk dijadikan elektrik konduktif dalam proses pemanasan induksi. Kemudian saat suhu aspal mulai mendingin maka aspal akan kembali ke keadaan semula. Metode tersebut akan membuat pori-pori menjadi lebih kecil dan mengurangi kemungkinan  rusak dan memiliki daya tahannya yang lebih lama.

   Aspal buatan Erik ini diyakini lebih efisien dari segi waktu, biaya, dan juga lebih aman dinilai dari faktor lingkungan. Karena metode self-healing concrete diyakini dapat memperpanjang usia jalan dibandingkan dengan metode recycling. Sedangkal aspal merupakan material yang paling banyak digunakan di atas permukaan bumi hingga mencapai tujuh milyar meter kubik yang untuk menghasilkan 100 kilogramnya mengeluarkan 20 kilogram emisi CO2. Dengan self-healing concrete lingkungan dan sumber daya alam dapat terjaga kelestariannya dan juga menghemat biaya. Erik sudah menguji coba bahan ini di berbagai jalan sepanjang 400 meter di Belanda, seperti di jalan tol A58 pada bulan Desember 2010 yang hasilnya sangat memuaskan, jalan ini bertahan hingga dua musim. Dengan aspal ini maka pemerintah tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk perbaikan jalan. Mungkin dengan adanya aspal buatan Erik ini, setidaknya di Jakarta, kita dapat merasa aman dan nyaman ketika berkendara di jalan-jalan Jakarta tanpa takut adanya jalan yang berlubang.

Bacterial Concrete

   Mahasiswa Newcastle University berhasil merekayasa bakteri yang dapat memperbaiki keretakan pada beton. Bakteri yang direkayasa secara genetik itu diprogram untuk menemukan retakan pada beton. Kemudian setelah mendapatkan titik yang dicari, bakteri tersebut memproduksi kalsium karbonat dan sejenis lem bakteri. Perekat ini bersinergi dengan sel-sel filamen bakteri yang dapat mengembalikan kekuatan beton yang retak dan pada dasarnya "menjahit" beton tersebut kembali ke kondisi semula.


   Bakteri itu diberi nama Bacillus subtilis, Sedangkan agen perekat betonnya diberi nama BacillaFilla oleh tim mahasiswa yang berjumlah sembilan orang yang berasal dari beragam disiplin ilmu seperti ilmu komputer, teknik sipil dan bioinformatika hingga mikrobiologi dan biokimia.

   Menurut Dr. Jennifer Hallinan, instruktur para mahasiswa sekaligus peneliti pada sistem kompleks di Newcastle University, Inggris, pengembangan agen perekat itu bertujuan untuk memperpanjang usia struktur bangunan dengan mengurangi dampaknya terhadap lingkungan. "Sekitar 5% emisi karbondioksida buatan manusia berasal dari pembuatan beton dan itu merupakan sumbangan yang cukup besar terhadap pemanasan global," kata Hallinan.


     Ia juga mengatakan bahwa pengembangan bakteri perekat ini sangat berguna di daerah rawan gempa bumi. Sebab setelah gempa, ratusan bangunan harus dirobohkan karena hingga saat ini belum ada cara yang mudah untuk memperbaiki retakan pada beton dan mengembalikannya menjadi struktur yang benar-benar aman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar