Risiko memang dapat ditransfer…bentuknya dapat bermacam-macam. Risk Transfer adalah salah satu strategi penanganan risiko. Tapi jangan sampai salah kaprah dengan mengalihkan keseluruhan risiko kepada pihak lain, karena justru akan menyulitkan diri sendiri.
Telah kita ketahui bahwa terdapat begitu banyak risiko yang terdapat dalam
proyek terlebih pada proyek konstruksi. Risiko proyek yang tidak
dikelola dengan baik akan menyebabkan proyek menjadi gagal. Risiko
proyek harus dikendalikan berdasarkan level dan prioritasnya.
Pengendalian risiko akan membuat tim proyek percaya diri dalam
melaksanakan proyek. Tim proyek tak perlu terlalu pusing jika risiko
terjadi karena telah diantisipasi.
Dalam menangani risiko ada
suatu kaidah penting yaitu bahwa risiko harus dipahami sebagai suatu hal
yang alamiah terjadi. Risiko akan lebih baik diindentifikasi seawal
mungkin berdasarkan fase siklus hidup proyek. Di samping itu bahwa
risiko haruslah diantisipasi. Dalam hal antisipasi risiko, faktor yang
paling penting adalah mengalokasi risiko yang telah diidentifikasi
secara sesuai kepada pihak-pihak yang paling mampu untuk mengatasinya.
Inilah strategi penanganan risiko yang paling jitu selama ini yang
dikenal dengan istilah risk transfer.
Risk transfer adalah
suatu proses yang mengalihkan risiko yang telah diidentifikasi kepada
pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan suatu proyek. Seperti yang
telah disebutkan bahwa prinsip utama dalam mengalihkan risiko adalah
dengan memperhatikan kesesuaian atau kemampuan pihak-pihak yang terlibat
yang akan menerima risiko tersebut. Kenapa? Karena memang pada dasarnya
risiko sudah memiliki tuannya sendiri. Menempatkan risiko tidak pada
tuan yang sebenarnya, akan berdampak pada tidak terkendalikannya risiko
tersebut atau risiko tersebut akan kembali lagi pada tuannya yang
sebenarnya.
Contoh sederhana adalah pada kasus keterlambatan
pembayaran oleh owner kepada kontraktor. Seringkali owner memaksakan
diri membayar selama mungkin dalam klausa term of payment di kontrak.
Jika pembayaran yang normal adalah setiap bulan dan dilaksanakan H+7
hari setelah kuitansi pembayaran diterima, biasanya owner menawar dengan
H+30 hari atau bahkan H+45 hari. Padahal kita ketahui bahwa kontraktor
adalah perusahaan jasa konstruksi dan bukanlah perusahaan jasa keuangan.
Sehingga term of payment tersebut akan dihitung kontraktor sebagai
biaya atau cost of money. Bunga akibat lambatnya proses pembayaran akan
diperhitungkan. Jika owner berharap akan mendapatkan bunga deposito
dengan menahan pembayaran ke kontraktor, maka ini berlaku sebaliknya
karena kontraktor akan memperhitungkan bunga dalam bentuk bunga
pinjaman. Pada akhirnya biaya tersebut kembali lagi ke owner dan bahkan
dalam bentuk yang lebih besar. Risiko akhirnya kembali pada tuannya
karena risiko pembayaran adalah tanggung jawab owner bukan kontraktor.
Lain halnya pada kasus kenaikan harga atau inflasi. Seringkali
di kontrak, owner membuat draft kontrak bahwa kenaikan harga sepenuhnya
ditanggung oleh kontraktor, apapun alasannya. Kita ketahui bahwa
kenaikan harga material bukanlah dibawah kendali kontraktor. Ini perlu
ditegaskan karena ada beberapa pelaku proyek yang pernah mengatakan
bahwa kontraktor adalah pihak yang telah mengetahui informasi kenaikan
harga material. Ini pendapat yang perlu diluruskan. Kalaupun kontraktor
mengetahui, belum tentu tahu berapa besaran kenaikan harga tersebut.
Jika klausul kontrak tersebut tidak dapat diubah, maka kontraktor akan
mengasumsikan dengan asumsi yang paling aman atas kemungkinan kenaikan
harga material yang seringkali menjadi terlalu tinggi. Akibatnya, harga
menjadi terlalu tinggi. Siapa yang menanggung harga tersebut, jawabnya
adalah owner. Sekali lagi risiko akan kembali pada tuannya yang
sebenarnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, perlu bagi kita
untuk berlaku bijaksana mengenai alokasi risiko. Pihak-pihak yang
terlibat dalam proyek haruslah paham mengenai prinsip tersebut. Alokasi
risiko haruslah diberikan pada pihak yang paling mampu untuk
mengendalikan risiko tersebut atau dalam bahasa sederhana bahwa risiko
harus dikembalikan kepada tuannya. Kesalahan dalam melakukan alokasi
risiko akhirnya akan berdampak pada kerugian yang seringkali lebih
besar. Jika risiko tersebut aspeknya adalah biaya, maka biaya yang
muncul tersebut bisa dikatakan hidden cost yang tidak disadari. Dapat
disimpulkan bahwa menempatkan risiko kepada pihak yang tepat akan
membuat biaya pelaksanaan menjadi lebih murah.
Lalu apa saja bentuk dari risk transfer tersebut? Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam rangka risk transfer, yaitu:
1. Asuransi.
Memindahkan risiko ke pihak asuransi adalah tindakan risk transfer
yang telah sering dilakukan. Prinsip utama dalam melakukan asuransi
terhadap risiko adalah bahwa risiko tersebut tidak dapat dikendalikan
dan dihitung besarannya oleh kontraktor. Seperti bencana alam,
kecelakaan kerja, kehilangan, dan lain-lain. Risiko yang dialihkan
kepada pihak asuransi adalah risiko yang tidak satupun pihak lain dalam
proyek yang mampu untuk mengatasinya. Risiko ini harus ditanggung oleh
kontraktor dan kontraktor harus pula mengalihkannya sebagai bagian dari
manajemen risiko kepada pihak asuransi. Kenapa dialihkan kepada pihak
asuransi?pertama, jika kontraktor yang menanggungnya, maka asumsi biaya
atau risk contigency menjadi tinggi. Bayangkan bila kontraktor
mengasumsikan biaya bencana alam seperti tanah longsor akibat kejadian
pekerjaan galian pada musim hujan. Biayanya tentu sangat besar padahal
kejadian tersebut sebenarnya bersifat probabilistik. Kedua, pihak
asuransi adalah pihak yang ahli dalam mengelola risiko dengan
karakteristik seperti itu. Pihak asuransi akan mengasuransikan sejumlah
proyek atas risiko-risiko tersebut dengan fee tertentu. Risiko tersebut
akan terjadi hanya pada 1 atau 2 proyek saja. Sehingga dari sekian
banyak proyek yang dicover, fee yang terkumpul akan mampu membiayai
risiko yang terjadi. Pihak asuransi mengambil keuntungan atas
perhitungan probabilitas kejadian risiko dan fee tersebut. Pada
akhirnya, biaya risiko menjadi sangat kecil untuk diperhitungkan dalam
harga proyek karena telah dikelola oleh pihak asuransi.
Tindakan ini juga sering dilakukan oleh kontraktor. Dengan melakukan
subkontraktor, maka pekerjaan yang sulit dan membutuhkan spesialisasi
akan dikerjakan oleh subkontraktor termasuk risiko-risiko yang mungkin
terjadi di dalamnya. Risiko tersebut, biasanya mampu diatasi oleh
subkontraktor dengan baik dibandingkan oleh kontraktor sendiri. Dengan
demikian, terjadinya risiko tidak membuat kontraktor dan subkontraktor
rugi. Apabila pekerjaan yang sulit dan membutuhkan spesialisasi tersebut
dikerjakan oleh kontraktor, maka kontraktor akan berpeluang mendapatkan
kerugian. Jika biaya risiko tersebut diperhitungkan dalam harga kontrak
maka harga kontrak akan naik atau proyek menjadi lebih mahal, disamping
ada potensi pekerjaan terlambat dengan mutu yang tidak sesuai target.
Melakukan subkontraktor juga adalah tindakan dalam rangka mengatasi
kompleksitas proyek. Pekerjaan proyek akan dilakukan lebih mudah jika
banyak pekerjaan yang telah disubkontraktorkan.
3. Mengubah klausul kontrak.
Seperti yang kita ketahui bahwa klausul kontrak adalah media yang
mengatur alokasi risiko. Jika terdapat dalam klausul kontrak akan
alokasi risiko yang tidak sesuai atau tidak tepat yang dapat berdampak
pada kegagalan proyek, maka masing-masing pihak yang terlibat dalam
kontrak harus bernegosiasi dalam mengubah klausul kontrak tersebut.
Reference : http://manajemenproyekindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar