Jumat, 01 Desember 2017
Waste material secara umum memiliki defenisi
yang sangat luas tergantung dimana asal mula timbulnya waste tersebut. Secara umum waste
dapat ditimbulkan pada industri manufaktur, rumah tangga, hunian, perkantoran
dsb, tetapi pada artikel kali ini hanya berfokus pada waste yang ditimbulkan pada industri konstruksi dimana waste yang dihasilkan berupa sisa
material baik yang masih dapat digunakan maupun waste yang sama sekali tidak dapat digunakan. Telah banyak
penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui proporsi waste material yang sering ditimbulkan selama proses konstruksi,
dimana rata-rata diperoleh limbah material konstruksi menyumbang disefisiensi
biaya proyek sekitar 10-15% dari total biaya proyek. Hal ini merupakan salah
satu aspek yang berdampak pada kinerja biaya suatu pelaksanaan proyek. Sekitar
75% volume limbah konstruksi yang dapat direcovery baik didaur ulang atau
digunakan ulang antara lain limbah kayu,
kardus, bata dan metal.
Konsep
dasar untuk mereduksi dampak limbah material konstruksi dapat dilihat dari
diagram hirarki piramida dimana top
desirable merupakan tindakan pencegahan kemudian dilanjutkan dengan upaya
untuk meminimalkan limbah, menggunakan ulang kembali limbah material, kemudian
upaya mendaur ulang limbah material dan least
desirable yaitu pembuangan limbah material ke landfill yang merupakan alternative yang paling tidak diinginkan
atau dihindari dalam upaya impelmentasi manajemen waste material konstruksi.
Hierarchy Minimize Waste Material
Construction
Life Cycle Waste Material (Thoengsal James, 2017)
Perlu diketahui juga bahwa proses
pembuangan limbah material konstruksi memiliki tiga perlakuan antara lain
pertama dibuang langsung ke lokasi pembuangan (landfill) dapat secara legal ataupun illegal landfill dengan membuang di lokasi yang tidak seharunya
dibuang, kedua dengan pembarakan (incineration)
dimana dampak secara visual dan volume akan berkurang tetapi memiliki dampak
negatif terhadap pencemaran udara dan ketiga dengan mengubur limbah material
tersebut (compostion) yang tentunya
harus mempertimbangkan dampak pencemaran terhadap tanah dan air tanah khusunya
jika limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3). Timbulnya limbah
material konstruksi umumnya terjadi pada tahapan pelaksanaan dan demolition,
dimana proses perencanaan menjadi kunci penting dalam mereduksi dampak waste yang akan ditimbulkan. Perencanaan
yang baik sebaiknya mempertimbangkan aspek penggunaan/pemilihan jenis material
dan tipe desain konstruksi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Implementasi manajemen waste material sepertinya menjadi hal yang perlu untuk diterapkan
di industri konstruksi khusunya di Indonesia antara lain oleh pihak konsultan,
kontraktor dan pemilik konstruksi mengingat tren green construction telah memasuki negara-negara berkembang saat
ini. Namun perlu disadari bahwa upaya untuk meminimalisir limbah material konstruksi
memiliki banyak hambatan untuk diterapkan antara lain:
- Type of Project, setiap proyek memiliki keunikan (Project is unique) tersendiri hal ini juga mempengaruhi jenis dan volume limbah material konstruksi untuk setiap jenis proyek. Tentunya proyek bangunan gedung menghasilkan waste material yang berbeda dengan jenis proyek lain seperti jalan, drainase dsb. Sehingga untuk setiap jenis proyek konstruksi memiliki tantangan dan strategi/manual dalam proses penanganan waste material.
- Space Site Location, Setiap proyek memiliki karakteristik luas area yang berbeda-beda walaupun untuk jenis proyek yang sama, hal ini menjadi salah satu penghambat dalam penerapan manajemen waste material khsusnya dalam proses penanganan, penyimpanan (storage), pengumpulan (collect), pemisahan (separage/segregation), penyortiran (sorting) tentunya memerlukan space area yang cukup untuk melakukan semua hal tersebut.
- Experiences & Education, Setiap stakeholder memiliki pengalaman dan latar belakang yang berbeda-beda dalam penanganan waste material konstruksi. Sebuah perusahaan baik konsultan, kontraktor maupun pemilik konstruksi memiliki latar belakang pengalaman dan informasi pengetahuan yang berbeda-beda. Melalui training dalam manajemen waste material konstruksi maka setiap stakeholder akan memiliki kompeten serta SOP untuk diterapkan di setiap proyek yang dikerjakan dimana hal ini juga harus didukung dengan adanya manual standar yang jelas untuk diimplementasikan.
- Market, Proses manajemen waste material konstruksi akan bermuara pada proses reused, recycle dan disposal. Hal ini tentunya memerlukan ketersediaan market yang dapat mengelolah waste material baik untuk digunakan ulang, didaur ulang maupun dibuang langsung ke landfill. Peran market dalam hal ini juga memiliki potensi yang cukup signifikan dalam penerapan manajemen waste material, dikarenakan jika ketersediaan market terbatas maka rantai pasok waste material juga akan terganggu. Di negara-negara maju market waste material konstruksi menjadi alternatif material shop bagi kontraktor sehingga tentunya menjadi ladang usaha yang baru.
- Biaya, Dalam hal ini umumnya untuk pelaksanaan proyek konstruksi dalam tahap kontrak sangat jarang memasukkan biaya untuk management waste material misalnya untuk membeli peralatan box/bin sampah, storage cost, sorting cost, separage cost, dan waste cost prevention. Sehingga dalam pelasanaannya kadang timbulnya waste material tidak menjadi hal yang diperhatikan dan hanya menjadikan sebagai beban biaya dalam proyek. Tetapi jika dianalisis lebih lanjut dampak waste material selama konstruksi bahkan demolition juga menimbulkan overuncost berupa disposal cost antara lain transportation waste material, landfill cost, meningkatkan biaya pembelian material baru & labour cost.
Disposal
Cost = (Transport Cost + Landfill Tax Cost + Inefficiency Purchasing Material )……. (1)
Revenue Recovery = (Efficient
Purchasing Raw Material + Saving Waste Transportation + Saving Landfill Tax + Revenue from Selling
Waste Material)………….……..(2)
- Quality Material, Salah satu hambatan penerapan manajemen waste material konstruksi yaitu asek kualitas material, kebanyakan pihak pemilik, konsultan maupun kontraktor ragu untuk menggunakan material recycle atau menggunakan ulang material pasa demolition untuk digunakan kembali pada proyek baru. Hal ini tentunya tidak menjadi hambatan jika proses sorting dan recycle dilakukan dengan baik dengan tetap mengutamakan aspek kualitas material sehingga dapat menjadi peluang market baru dalam mewujudkan bangunan ramah lingkungan dan berkelanjutan.
- Waktu,
Dalam
pelaksanaan suatu proyek kosntruksi waktu menjadi hal yang penting dikarenakan
suatu proyek dibatasi oleh rencana waktu yang telah ditentukan. Manajemen waste material dalam pelaksanaannya juga
membutuhkan ketersediaan waktu dalam penanganannya antara lain waktu
penyimpanan material, pemisahan limbah material, waktu penyotiran dsb, sehingga
jika diterapkan maka cenderung mempengaruhi waktu pelaksanaan proyek. Tetapi
hal ini juga dapat diterapkan jika sebelumnya telah direncanakan dalam kontrak
menggunakan sub pekerja atau kontraktor yang dapat secara khusus menangani limbah material selama
konstruksi.
- Behaviour, Perilaku dan kebiasaan setiap stakeholder juga menjadi hambatan dalam implementasi penerapan manajemen waste material konstruksi. Hal ini menjadi masalah yang fundamental dikarenakan setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda, sebagai contoh kebiasaan membuang sisa potongan besi, kemasan material di sembarang tempat pada lokasi proyek. Perilaku dalam suatu manajemen dapat diubah misalnya dengan melakukan proses training, edukasi, penerapan aturan punishment & reward, pengawasan dan SOP yang baik, walaupun tentunya membutuhkan waktu yang tidak singkat tetapi jika dilakukan secara terus menerus akan menjadi sebuah kebiasaan yang baik.
- Peraturan/Regulasi, Peraturan maupun kebijakan yang mengwajibkan penerapan manajemen pengelolahan waste material oleh setiap stakeholder pada industri konstruksi juga menjadi salah satu faktor penting. Salah satu kendala penerapan manajemen pengelolahan waste material konstruksi yaitu jika peraturan ataupun kebijakan belum diterapkan dan disosialisasikan dengan baik kepada pelaku jasa konstruksi, dengan adanya peraturan dan manual yang jelas dapat mendorong pelaku jasa konstruksi untuk lebih menerapkan manajemen waste material dalam setiap aktifitas proyek yang dilaksanakannya terlebih jika unsur reward dan punishment ditetapkan di dalamnya.
Faktor-faktor yang menjadi penghambat tersebut
dapat direduksi dengan melakukan perencanaan yang baik. Tentunya hal ini
memerlukan kesadaran, peraturan yang tegas dan manual standar untuk diterapkan
dalam industri konstruksi di Indonesia. Melihat sumber daya alam sebagai bahan
baku material (raw material) semakin
menipis, juga harganya yang semakin meningkat serta dampak yang ditimbulkan
baik aspek lingkungan, biaya dan social, sehingga implementasi manajemen waste material konstruksi sudah saatnya
menjadi hal yang penting untuk diterapkan oleh setiap stakeholder baik konsultan, kontraktor maupun pemilik proyek. Terima
Kasih.
Oleh: Dr. Ir. James
Thoengsal, M.T., IPM.
artikelnya sangat membantu pak, apakah boleh saya meminta referensi-referensi yang digunakan untuk membantu tugas akhir saya. terima kasih sebelumnya pak.
BalasHapus